SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG, MUSIK RAKYAT ASLI INDONESIA

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG, MUSIK RAKYAT ASLI INDONESIA

Masa pendudukan Portugis ke pulau Jawa bermula pada abad ke 12, di Pelabuhan Marunda – Sunda Kelapa. Mereka juga membawa cikal-bakal musik ...

Selasa, 15 Maret 2016

SURAT EDARAN DPP PDI PERJUANGAN, WUJUD MATINYA DEMOKRASI DAN KEKAWATIRAN YANG BERLEBIHAN..

UUD 45 menjamin warga negara, bebas betserikat dan mengemukakan pendapat, begitu juga AD/ART PDI Perjuangan.. PDI Perjuamgan sebagai parpol yg terdepan mengusung pilar demokrasi, sdh seharusnya membuka selebar lebarnya pintu kebebasan kader/aktivis dan kontituen untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat dan sikap politiknya.. Jangan dikit dikit dilarang, apalagi dengan alasan dan argumentasi Mencegah "Kegaduhan". Ingat rekam jejak dan perjalanan perjuangan partai (diperjuangkan dng darah dan air mata)... Ketika orde baru membungkam demokrasi, hasilnya rakyat malah melawan.. Janganlah jadi rezim otoriter, semua serba diatur dan semua serba dilarang.. Jadi pemimpin jangan cuma bisa melarang, harus juga bisa mendengar dan menyerap aspirasi.. Sehingga yg timbul dinamika politik.. Bukan kekawatiran dan ketakutan politik.. Di era reformasi, sdh tdk laku lagi pemaksaan dan serba intruksi.. Yg harus patuh dan taat dng AD/ART partai, bukan hanya bawahan.. Pimpinanpun harus patuh dan taat.. Jangan seperti Gubernur Ahok, yg bilang PNS tdk boleh "Berpolitik", tapi dia sibuk Loby-loby politik..!!!. Apalagi "Srigala berbulu domba".

Jakarta, 15 maret 2016.

Cepy Budi Mulyawan
(Aktivis dan Kader Nasional PDI Perjuangan)

Senin, 14 Maret 2016

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG, MUSIK RAKYAT ASLI INDONESIA

Masa pendudukan Portugis ke pulau Jawa bermula pada abad ke 12, di Pelabuhan Marunda – Sunda Kelapa. Mereka juga membawa cikal-bakal musik keroncong pada abad ke 16, pada saat masuknya Belanda ke Indonesia dan menguasai Malaka (Ade Soekino, 1995, Pangeran Jayakarta: 2). Pada abad ke 16 inilah, bangsa Portugis membawa pengaruh fado ke Indonesia. Fado merupakan tradisi tutur dalam bermusik di Portugis. Biasanya mengenai perjalanan mengarungi lautan, kemiskinan dan seperti musik rakyat kebanyakan adalah mengenai kesedihan. Berawal dari jatuhnya Malaka dari Portugis ke tangan Belanda pada tahun 1648, budaya bermusik dari Portugis dibawa oleh para turunan Moor, Bengali, Malabar dan Goa (India), mereka adalah budak-budak Portugis, yang banyak berasal dari Maluku yang ditawan di Batavia pada masa itu. Pada tahun 1661 mereka dibebaskan, pada tahun itu dimukimkan di sekitar rawa-rawa daerah Cilincing, atau Kampoeng Toegoe. Mata pencaharian mereka adalah bertani dan berburu, di waktu-waktu senggang mereka memainkan musik dan bernyanyi dengan khas berirama lambat diiringi rajao (gitar kecil berdawai lima), biola, gitar, cello, dua jenis ukulele (cak dan cuk), rebana dan suling. Bisa dibilang, bahwa catatan awal mengenai sejarah lahir dan berkembangnya keroncong, adalah hasil percampuran budaya bermusik para budak yang dibawa Portugis dan budaya Indonesia. Percampuran budaya bermusik ini, awalnya disebut moresco. Moresco/Moresko merupakan musik dengan tarian dari bangsa atau kaum Moor/Moorish (kaum muslim berasal dari Moro, yakni orang kulit hitam yang berasal dari Pantai Utara Afrika) yang tinggal di Portugis. Tarian Moresko sendiri sudah melekat sejak 500 tahun yang lalu (Ensiklopedi Jakarta, Culture & Heritage, Hal. 135). Ada pula lafal lain yakni Morisca, namun Morisca lebih cenderung untuk menyebut nama jenis gitar yang ada pada kaum Moorish ini, yakni gitar berbentuk oval dan memiliki banyak lubang (sebab, alat musik ini membawa pengaruh Arabia yang berasal dari kaum Moorish yang berketurunan Arab). Kaum Moor ini masuk di benua Eropa pada abad 15, dan masuk ke Indonesia pada abad 16 lewat bangsa Portugis. Aslinya musik Kaum Moor bernama Moresco ini dimainkan untuk mengiringi tarian anggar antara hulubalang Kristen dan hulubalang Muslim dengan irama ‘tripel’, cenderung ‘mars’ (Remy Sylado, 2005, 9 Oktober 1740: 189) Dan dalam kenyataannya, awalnya Moresco adalah tarian yang menceritakan tentang Perang Salib antara Muslim dan Nasrani pada budaya bangsa Moor/Moro sendiri. Pada abad ke 19 musik ini berubah secara pelafalannya sesuai lidah orang Indonesia, menjadi Keroncong. Alasannya sederhana, “Karena musik ini berbunyi creng-crong.” Ada pula yang menyebutkan bahwa asal mula nama Keroncong berasal dari suara kerincing Rebana. Pendapat masyarakat ini bisa benar, bisa juga tidak. Dalam buku Ensiklopedi Jakarta mengenai Keroncong menyebutkan bahwa asal mula ‘keroncong’ berasal dari Bahasa Portugis yakni jukulele (ukulele) dalam Bahasa Portugis disebut dengan nama croucho, yang artinya kecil (untuk menyebut ukulele sebagai gitar dengan ukuran kecil). Keunikan Keroncong salah satunya adalah dari bunyi cak, cuk dan cello. Cak dan cuk-lah khas dari Keroncong ini dengan suara creng-crongnya, cak dan cuk pula yang merupakan evolusi dari croucho ini. Lalu khas keroncong pun ditambah dengan cello (selo) 3 senar gut-nya, dimainkan oleh orang Indonesia dengan cara dipetik, tidak digesek seperti biola, konon mengapa cello dipetik karena orang Indonesia tidak mengerti cara memainkan selo, walaupun pada kenyataannya selo pun bisa dimainkan dengan dipetik. Alat-alat musik yang disebutkan tadi berbaur dengan budaya lokal Indonesia, selain dimainkan dengan biola dan sebagainya, biasanya musik ini dimainkan dengan sitar dan gamelan lalu dinyanyikan dengan lagu-lagu bernuansa tradisional Jawa yakni Langgam Jawa. Dengan kata lain Keroncong berbaur menjadi musik rakyat baru di Indonesia atau “mempribumikan” musik ini dengan menambahkan unsur tradisional Indonesia. Selain Langgam Jawa, Keroncong pun memakai alat musik seperti: sitar India, rebab, suling bambu, gendang, kenong, dan saron. Sejarah Keroncong di Kampung Tugu dan Kampung Bandan (Kampung Bandan sekarang adalah Kecamatan Pademangan di Tanjung Priok). Sekitar tahun 1610 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengalahkan Pangeran Jayakarta dan tahun 1621 menaklukkan Pulau Banda, tawanan-tawanan asal Pulau Banda ini adalah dijadikan budak lalu dikirim ke Kampung Tugu dan Kampung Brandan di Batavia, di kawasan itu terkenal sebagai tempat penampungan budak-budak asal Maluku dari Pulau Banda (Muhadjir, 2000, Bahasa Betawi : Sejarah dan Perkembangannya: 44). Lagu keroncong Portugis atau Keroncong Moresco yang pertama populer di masa itu adalah Prounga. Lagu ini sangat disenangi penduduk Kampung Bandan, jenis Keroncong seperti Prounga ini akhirnya disebut sebagai Keroncong Bandan. Prounga adalah jenis Keroncong rohani yang biasa dinyanyikan di Gereja saat itu. Sayangnya litertur tentang jenis musik keroncong di masa awal terbentuk atau terciptanya musik ini masih sangat minim. Pada tahun 1673, mereka para keturunan Portugis ini berpindah ke daerah Cilincing. Di sana mereka mendirikan Gereja Tugu, sesuai nama kampungnya Kampung Tugu. Dari sanalah kita kini mengenal kesenian musik yang bernama Keroncong Tugu. Lagu-lagu Keroncong pada saat itu di antaranya: Keroncong Tugu, Keroncong Kaparino dan Nina Bobo (Muhadjir, 2000, Bahasa Betawi : Sejarah dan Perkembangannya: 45). Dalam catatan yang ada di Wikipedia.org, modernisasi Keroncong bermula pada 1960-an, Keroncong disulap menjadi tradisi populer kaum muda-mudi di Indonesia. Musik ini dikawinkan dengan alat musik modern seperti gitar elektrik, keyboard dan drum. Modernisasi Keroncong era 1960-an ini di Indonesia dan Belanda sendiri sudah tidak asing lagi dengan nama Wieteke Van Dort yang membawakan Keroncong dengan gaya modern, salah satu lagunya yang terkenal adalah Geef Mij Maar Nasi Goreng. Adaptasi Keroncong dengan Langgam Jawa, berkembang pesat pada tahun 1950an. Penyanyi Keroncong dengan Langgam Jawa yang terkenal di tahun itu seperti Waldjinah. Langgam Jawa ini khas memakai sitar, saron dan kendang. Biasanya bila kendang tidak tersedia peran cello menggantikan peranan suara kendang dalam Langgam Jawa. Di hari ini, keroncong, masih tetap lestari. Baik masih menjadi tontonan yang berkelas di gedung-gedung pertunjukan atau pun di jalanan. 

SEJARAH KERONCONG DAPAT DIBAGI DALAM 3 (TIGA) TAHAP YAITU 
1. KERONCONG TEMPO DOELOE; 
2. KERONCONG ABADI; dan 
3. KERONCONG MODERN. 

KERONCONG TEMPO DOELOE (1880-1920)
Berlangsung sejak kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia sekitar tahun 1600-an tetapi baru berkembang sebagai Musik Keroncong pada akhir Abad XIX (ditemukan Ukulele di Hawai pada tahun 18791 hingga sekitar setelah Perang Dunia I (sekitar 1920). Pada waktu itu disebut dengan lagu-lagu Stamboel: Stamboel I, Stamboel II, dan Stamboel III dengan standar lagu panjang 16 birama. Contoh lagu Stb I Potong Padi, Padi, Stb I Nina Bobo, Stb I Soleram, dsb.; contoh lagu Stb II Jali-jali, Stb II Si Jampang, dsb.; dan contoh lagu Stb III Kemayoran (hanya ini yang ada). Masa ini Keroncong berkembang sejak dari desa Toegoe (Cilincing Jakarta sekarang), kemudian hijrah ke Kemayoran dan Gambir, sehingga tidak heran kalau cengkok dan irama menjadi cepat dan lincah. Banyak kelompok musik pada masa ini (seperti Lief Indie) yang memainkan lagu stamboel selain komedi stamboel itu sendiri.

KERONCONG ABADI (1920 – 1959)
Berlangsung sejak setelah Perang Dunia I (1920) hingga setelah Kemerdekaan (1959). Pada waktu hotel-hotel di Indonesia dibangun seperti Hotel Savoy Homan dan Hotel Preanger di Bandung, jaringan Grand Hotel di Cirebon, Yogyakarta, Sala, Madiun, Malang, dsb., di mana pada hotel-hotel tersebut diadakan musik dansa, maka lagu Keroncong mengikuti musik dansa asal Amerika, terutama dengan panjang 32 birama (Chorus: Verse-Verse-Bridge-Verse atau A-A-B-A). Pada masa ini dikenal dengan 3 jenis Keroncong, yaitu: Langgam Keroncong, Stambul keroncong, dan Keroncong Asli. Contoh lagu Lg Bengawan Solo, Lg Tirtonadi, Lg Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Lg Solo Di Waktu Malam; Stb Rindu Malam, Stb Jauh Di Mata, Stb Dewa-Dewi; Kr Purbakala, Kr Sapulidi, Kr Moresko. Pada waktu itu juga lahir Langgam Jawa: Yen Ing Tawang(1935). Pada perjalanan juga menjadi terkenal oleh penyanyi Waljinah (1963). Pada masa ini Keroncong berpindah ke Solo, sehingga dengan irama yang lebih lambat dan lemah gemulai. Pada Pekan Raya (Yaar Beurs) di Solo penyanyi legendarisnya adalah Miss Any Landauw dan Abdullah, sedangkan pemain biola legendaris asal Betawi adalah M. Sagi. 

KERONCONG MODERN (1959-sekarang).
Pada tahun 1959 Yayasan Tetap Segar Jakarta pimpinan Brigjen Sofyar memperkenalkan ke Keroncong Pop atau Keroncong Beat, yaitu sejalan dengan perkembangan musik pop pada waktu itu dengan pengaruh rock ‘n roll dan Beatles. Lagu-lagu Indonesia, Daerah maupun Barat diiringi dengan Keroncong Beat. Misalnya Na Sonang Dohita Nadua (Batak), Ayam Den Lapeh (Padang), Pileuleuyan (Sunda), dsb, Pada tahun sekitar 1968 di daerah Gunung Kidul Yogyakarta musisi Manthous memperkenalkan apa yang disebut campursari, yaitu keroncong dengan gamelan dan kendang. Selain itu juga dipakai instrumen elektronik seperti bass guitar, electric bass, organ, sampai juga dengan saxophon dan trompet. Musisi yang gencar memainkan Campursari adalah Didi Kempot: Stasiun Balapan, Tanjung Emas, Terminal Tirtonadi, dsb. Dalam bentuknya yang paling awal, moresco diiringi oleh musik dawai, seperti biola, ukulele, serta selo. Perkusi juga kadang-kadang dipakai. Set orkes semacam ini masih dipakai oleh keroncong Tugu, bentuk keroncong yang masih dimainkan oleh komunitas keturunan budak Portugis dari Ambon yang tinggal di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Pem-“pribumi”-an keroncong menjadikannya seni campuran, dengan alat-alat musik seperti 1. sitar India 2. rebab 3. suling bambu 4. gendang, 5. kenong, 6. dan saron sebagai satu set gamelan Saat ini, alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong mencakup 1. ukulele cuk, berdawai 3 (nilon), urutan nadanya adalah G, B dan E; 2. ukulele cak, berdawai 4 (baja), urutan nadanya A, D, Fis, dan B. Jadi ketika alat musik lainnya memainkan tangga nada C, cak bermain pada tangga nada F (dikenal dengan sebutan in F); 3. gitar akustik (Ukulele dan Gitar menggatikan Sitar); 4. biola (menggantikan Rebab); 5. flut (mengantikan Suling Bambu); 6. selo; 7. kontrabas (menggantikan Gong)2 Penjaga irama dipegang oleh ukulele dan kontrabas. Gitar dan selo mengatur peralihan akord. Biola berfungsi sebagai penuntun melodi, sekaligus hiasan/ornamen. Flut mengisi hiasan, yang melayang-layang mengisi ruang melodi yang kosong. Bentuk keroncong yang dicampur dengan musik populer sekarang menggunakan organ serta synthesizer untuk mengiringi lagu keroncong. Musik keroncong lebih condong pada progresi akord dan jenis alat yang digunakan. Sejak pertengahan abad ke-20 telah dikenal paling tidak tiga macam keroncong, yang dapat dikenali dari pola progresi akordnya. Bagi pemusik yang sudah memahami alurnya, mengiringi lagu-lagu keroncong sebenarnya tidaklah susah, sebab cukup menyesuaikan pola yang berlaku. Pengembangan dilakukan dengan menjaga konsistensi pola tersebut. Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk campuran serta adaptasi. Dahulu sebelum Perang Dunia I (1910), musik keroncong dikenal dengan nama Stambul, diambil dari Komedi Stambul Keliling yang menyuguhkan lagu-lagu keroncong. Ciri dari Lagu Stambul adalah panjang 16 birama. Catatan: banyak orang menyebut Keroncong Kemayoran, yang sebenarnya Stambul III Kemayoran Setelah Perang Dunia I (1910) dengan adanya inflitrasi lagu pop (akibat adanya pembangunan hotel-hotel di Indonesia tahun 1920-an seperti Hotel Savoy di Bandung, di mana hotel tersebut sering mengadakan musik dansa, sehingga musik keroncong saat itu juga dipengaruhi oleh lagu2 pop barat dg struktur panjang 32-birama: A-A-B-A), maka dikenal:  Langgam Keroncong (32 birama), misalnya: Lg Bengawan Solo, Lg Di Bawah Sinar Bulan Purnama, dsb.  Stambul Keroncong (16 birama x 2 = 32 birama), misalnya St Jauh Di Mata, St Dewa Dewi . dsb.  Keroncong Asli (32 birama dg Prelude sebanyak 4 birama dan Interlude sebanyak 4 birama), misalnya Kr Sapu Lidi, Kr Purbakala, dsb. Ciri dari Lagu Keroncong ini adalah panjang 32 birama. Ada perbedaan Lagu Stambu; dengan Lagu Keronong; yang pertama dengan Pantun, sedangkan yang kedua dengan Syair. Keroncong asli memiliki bentuk lagu A – B – C. Lagu terdiri atas 8 baris, 8 baris x 4 birama = 32 birama, di mana dibuka dengan Prelude 4 birama yang dimainkan secara instrumental, kemudian disisipi Interlude standar sebanyak 4 birama yang dimainkan secara instrumental juga. Keroncong asli terkadang juga diawali oleh prospel terlebih dahulu. Prospel adalah seperti intro yang mengarah ke nada/akord awal lagu, yang dilakukan oleh alat musik melodi seperti seruling/flut, biola, atau gitar. Langgam Keroncong Bentuk lagu langgam ada dua versi. Yang pertama A – A – B – A dengan pengulangan dari bagian A kedua seperti lagu standar pop: Verse A – Verse A – Bridge B – Verse A, panjang 32 birama. Beda sedikit pada versi kedua, yakni pengulangannya langsung pada bagian B. Meski sudah memiliki bentuk baku, namun pada perkembangannya irama ini lebih bebas diekspresikan. Penyanyi serba bisa Hetty Koes Endang misalnya, dia sering merekam lagu-lagu non keroncong dan langgam menggunakan irama yang sama, dan kebanyakan tetap dinamakan langgam. Bentuk adaptasi keroncong terhadap tradisi musik gamelan dikenal sebagai langgam Jawa, yang berbeda dari langgam yang dimaksud di sini. Langgam Jawa yang pertama adalah Yen Ing Tawang (Tawang suatu desa di Magetan) ciptaan Anjar Any (1935). Langgam Jawa memiliki ciri khusus pada penambahan instrumen antara lain siter, kendang (bisa diwakili dengan modifikasi permainan cello ala kendang), saron, dan adanya bawa atau suluk berupa introduksi vokal tanpa instrumen untuk membuka sebelum irama dimulai secara utuh. Tahun 1980 Langgam Jawa berkembang menjadi Campursari. Stambul Keroncong Stambul merupakan jenis keroncong yang namanya diambil dari bentuk sandiwara yang dikenal pada akhir abad ke-19 hingga paruh awal abad ke-20 di Indonesia dengan nama Komedi stambul. Nama “stambul” diambil dari Istambul di Turki. Stambul memiliki tiga tipe progresi akord yang masing-masing disebut sebagai Stambul I, Stambul II dan Stambul III. Salah satu tokoh Indonesia yang memiliki kontribusi cukup besar dalam membesarkan musik keroncong adalah bapak Gesang3. Salah satu lagunya yang paling terkenal adalah Bengawan Solo. Lantaran pengabdiannya itulah, oleh Gesang dijuluki “Buaya Keroncong” oleh insan keroncong Indonesia,sebutan untuk pakar musik keroncong.