Skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR nampaknya bakal berbuntut panjang. Belum juga selesai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan atas kasus yang melibatkan sejumlah pimpinan BI itu, beberapa lembaga swadaya masyakat (LSM) menyodorkan temuan baru.
Temuan itu merupakan dokumen dan memorandum dari BI untuk bantuan dana sejumlah kegiatan DPR, khususnya anggota Komisi XI yang menangani bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan dan lembaga keuangan bukan bank.
Bantuan kegiatan yang terjadi sepanjang periode 2006-2007 itu, antara lain: bantuan partisipasi, perjalanan, hubungan baik, pengobatan dan perawatan bagi anggota DPR. Lalu ada juga bantuan untuk kegiatan, apresiasi dan representasi, bantuan terkait permbahasan rancangan undang-undang (RUU), bantuan untuk Badan Kelengkapan DPR dan Badan Kelengkapan Komisi XI, serta pertemuan stake holder eksternal.
Berdasarkan hasil investigasi lima LSM –Koalisi Anti Utang (KAU), Barisan Pemburu Koruptor, Central for Local Government Reform (Celgor), Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) dan Sugeng Saryadi Syndicate (SSS)– dana yang diberikan kepada para wakil rakyat itu sejumlah AS$ 145.895 dan Rp2,07 miliar. Sehingga jika ditotal jumlahnya mencapai Rp3,4 miliar, berdasarkan asumsi kurs rupiah terhadap satu dollar AS, Rp9.194. Hasil investigasi itu sendiri telah diserahkan ke KPK pada Rabu (26/3).
Bantuan kegiatan BI ke DPR
priode 2006-2007
No | Keterangan | Dolar Amerika (AS$) | Rupiah (Rp) |
1 | Bantuan partisipasi | 14.000 | 0 |
2 | Bantuan perjalanan | 31.000 | 474.000.000 |
3 | Bantuan hubungan baik | 42.395 | 79.841.520 |
4 | Bantuan pengobatan dan perawatan kesehatan | 16.000 | 0 |
5 | Bantuan kegiatan | 0 | 729.000.000 |
6 | Bantuan apresiasi dan representasi | 0 | 520.000.000 |
7 | Bantuan terkait pembahasan RUU | 32.500 | 120.000.000 |
8 | Bantuan untuk Badan Kelengkapan DPR dan Badan Kelengkapan Komisi XI DPR | 10.000 | 100.000.000 |
9 | Pertemuan stake holder eksternal | 0 | 55.000.000 |
Jumlah | 145.895 | 2.077.841.520 |
Sumber : Koalisi Anti Utang
Jumlahnya memang tidak sebesar hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kala itu BPK mengungkapkan ada aliran dana BI ke DPR sebesar Rp31,5 miliar, dari total penggunaan uang milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh BI sebesar Rp100 miliar. “Namun, tetap saja itu bentuk suap,” ujar Munarman, Ketua Barisan Pemburu Koruptor, di Jakarta, Rabu (26/3).
Ia lantas membeberkan beberapa memorandum BI ke DPR. Misalnya memo untuk bantuan partisipasi BI kepada anggota Komisi XI DPR sebesar AS$ 14 ribu. Dana itu diberikan dalam tiga kali pencairan. Rinciannya: memo: 9/61/DPU/BPUK (AS$2.000), memo: 956/DPU/BPUK (AS$2.000) dan memo: 9/45/DPU/BPUK (AS$10.000).
Sayangnya, meski mengaku mengantongi nama-nama anggota DPR penerima dana haram tersebut, Munarman belum mau mengungkapkan siapa saja yang menerima dana itu. “Yang jelas, hampir semua anggota Komisi XI mendapatkanya (dana BI, red),” ungkapnya.
BI, katanya, juga memberikan bantuan untuk perjalanan anggota Komisi XI baik dalam maupun luar negeri. Jumlahnya AS$31 ribu dan Rp474 juta. Perjalanan dalam negeri diantaranya: kunjungan kerja ke Lampung dan Semarang. Lalu kunjungan untuk menghadiri peringatan setahun tsunami di Nangro Aceh Darussalam.
Sementara itu untuk perjalanan ke luar negeri, mencakup: perjalanan untuk ibadah haji (satu orang), mengikuti International Islamic Finance Forum di Singapura, perjalanan ke Tokyo, Amsterdam dan Amerika. Kemudian bantuan perjalanan ke Australia dan Cina untuk menghadiri forum grup kerja sama bilateral (GKSB).
Bantuan juga diberikan BI untuk biaya berobat dan perawatan kesehatan kepada salah seorang anggota Komisi XI yang menghabiskan dana sebesar AS$1.000. Parahnya bantuan pengobatan itu bukan hanya dinikmati oleh anggota dewan saja, tapi juga istri dari salah seorang anggota Komisi XI. Buat berobat istri anggota dewan tersebut ke Jerman, BI telah menggelontorkan uang A$10 ribu.
Munarman melanjutkan, BI juga memberikan suap terkait pembahasan RUU. Bentuknya berupa uang perjalanan dan menghadiri forum seminar dan konpersensi internasional. Bantuan BI itu terkait pembahasan RUU mata uang, RUU ketentuan umum perpajakan, RUU perbankan syariah, dan RUU informasi dan transaksi elektronik.
Untuk pembahasan RUU Ketentuan Umum Perpajakan, BI memberikan dua kali bantuan perjalanan kepada empat anggota Komisi XI ke Jepang. Kemudian, untuk pembahasan RUU Perbankan Syariah, bantuan perjalanan diberikan kepada enam anggota Komisi XI ke beberapa negara di Asia. Sedangkan untuk RUU Mata Uang, BI memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai.
Modus lain yang digunakan BI, lanjutnya, adalah mengadakan pertemuan stake holder eksternal. Pertemuan ini diadakan guna melakukan persuasi agar citra kinerja BI tetap baik di ruang publik. Untuk melaksanakan pertemuan ini, BI telah menghabiskan dana sebesar Rp55 juta.
Sayang, hingga berita ini diturunkan, hukumonline belum mendapat konfirmasi dari BI. Salah satu pegawai BI yang menandatangani memo (hukumonline sempat melihat dokumen milik LSM tersebut), Filianingsih Hendarta, tidak mengangkat telepon selularnya ketika beberapa kali dihubungi hukumonline. Fili –panggilan akrab Filianingsih– saat ini menjabat sebagai Kepala Biro Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI.
Yang jelas, beragam modus suap yang dilakukan BI ini, bisa jadi menambah daftar tercela otoritas moneter itu di KPK. Karena itu, Munarman, meminta KPK segera mengusut tuntas dan menindak pihak-pihak yang terlibat dalam suap menyuap tersebut. “Tindakan tegas harus diberikan KPK kepada pelaku dan penerima suap,” tegasnya.
Inefisiensi Anggaran di BI
Selain dugaan suap, kelima LSM tadi juga mengungkapkan adanya inefisiensi anggaran di tubuh bank sentral itu. Inefisiensi itu berupa pemborosan biaya perjalanan dinas untuk anggota keluarga pejabat BI.
Dari data yang diperoleh Celgor terungkap, sepanjang tahun 2006-2007, nilai nominal dari inefisiensi anggaran di BI adalah sebesar Rp13,3 miliar dan AS$3,3 juta. Jika ditotal nilainya mencai lebih dari Rp44 miliar. “Volumennya tidak wajar,” celetuk Usmar Ismail, Koordinator Celgor.
Beberapa dokumen kembali disodorkan. Misalnya, biaya perjalanan Marniza Aslim, istri mantan Deputi Gubernur BI Aslim Tajuddin. Tahun 2006, biaya perjalanan Marniza mencapai Rp1,4 miliar plus AS$12 ribu. Sedangkan untuk tahun 2007, totalnya Rp742 juta ditambah AS$82 ribu. Sebagian besar biaya perjalanan untuk ke luar negeri.
Begitu juga dengan biaya perjalanan Oloan P. Siahaan. Suami dari Deputi Gubernur Senior Miranda Swaray Goeltom itu mendapat jatah sekitar Rp4,8 milar untuk tahun 2006-2007. Dana itu terdiri dari AS$ 121 ribu dan Rp3,6 milar.
Selain keduanya masih ada beberapa keluarga pejabat BI lain yang mendapatkan jatah, seperti Ny. Maman H. Soemantri yang merupakan istri mantan Deputi Gubernur BI Maman H. Soemantri, Ny. Ike Burhanuddin (istri dari Gubernur BI Burhanuddin Abdullah), Ny. Sri Dadari Maria Sarwono (istri dari Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono) dan Ny. Rita Maulana (istri mantan Deputi Gubernur BI Maulana Ibrahim).
“Kami mengungkapkan data ini tidak ada motif politik atau mau mencemarkan nama baik seseorang. Tapi, semata-mata untuk menghentikan praktik suap dan korupsi di semua institusi,” tandas Kusfiardi, dari PSKP yang juga menjabat Koodinator Nasional Koalisi Anti Utang (KAU).