SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG, MUSIK RAKYAT ASLI INDONESIA

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG, MUSIK RAKYAT ASLI INDONESIA

Masa pendudukan Portugis ke pulau Jawa bermula pada abad ke 12, di Pelabuhan Marunda – Sunda Kelapa. Mereka juga membawa cikal-bakal musik ...

Selasa, 11 Agustus 2009

Kisruh DPT Menguap, Hasil Pilpres 2009 Dianggap Cacat Hukum

M. Rizal Maslan - detikNews

Jakarta - Sekalipun pencontrengan pilpres telah usai, namun proses pemilihan capres dan capres itu masih menuai banyak protes. Penyebabnya, kinerja KPU dianggap tidak independen dan putusan MK soal KTP atau paspor bagi pemilih dianggap menyalahi kewenangan.

"KPU telah berbuat tidak independen, dan tidak jurdil. Dan MK telah melampaui kewenangannya soal putusan KTP atau Paspor bagi pemilih. Jadi kami melihat pilpres 2009 inkonstitusional," tegas Budi Mulyawan, Koordinator Kesatuan Aksi Tolak Pilpres Inkonstitusional (KATPI), dalam rilisnya kepada detikcom, Rabu (15/7/2009).

Dijelaskan Budi, seharusnya MK tidak berwenang membuat regulasi terkait pemilu atau pilpres. Karena kewenangan MK hanya sebatas melakukan uji materi
Undang-Undang terhadap konstitusi, serta mengadili sengketa terhadap hasil pemilu dan mencari jalan keluarnya.

Untuk itu, imbuh Budi, keputusan MK soal penggunaan KTP atau paspor bagi pemilih telah mengebiri hak politik rakyat. Dan karena keputusan MK, masalah kisruh DPT jadi tidak tertangani.

"Kami sangat menyayangkan sikap Mega-Prabowo dan JK-Wiranto yang menerima putusan MK. Langkah mereka telah menciptakan blunder politik. Karena masalah carut-marutnya DPT jadi menguap ditelan isu KTP," pungkasnya.

Penuntasan Kasus 27 Juli 1996 Para Korban akan Ajukan ke Mahkamah Internasional

M. Rizal Maslan - detikNews


Jakarta - Sejumlah korban kasus penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 27 Juli 1996, yang tergabung dalam Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) tetap menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM kasus tersebut. Bahkan, mereka mengancam akan mengajukan kasus itu ke Mahkamah Internasional Persatuan Bangsa-bangsa.

"Kami menuntut penuntasan kasus, Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996. Kita akan mengajukan kepada Mahkamah Internasional PBB untuk mengusut pelanggaran HAM berat itu," kata Koordinator Bendera, Budi Mulyawan, kepada detikcom di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/7/2009).


Menurut Budi, pihaknya ingin para pelaku pelanggaran HAM berat itu menjatuhkan sanksi hukum yang setimpal kepada sejumlah jenderal yang terlibat kasus itu.

"Kami juga menolak seluruh tahapan dan hasil Pilpres 2009, karena telah membiarkan tersangka pelanggaran HAM berat peristiwa 27 Juli 2006 untuk mengikuti Pilpres," jelasnya.

Budi menyayangkan, para pelaku dan aktor intelektual dalam kasus ini hingga saat ini tetap bebas dan mengangkangi hukum. "Bahkan malah berkuasa melalui pencitraan santun dan manipulasi legitimasi dan berhasil mengelabui keamanan rakyat Indonesia," tegasnya.

Budi meyakini, kasus tersebut sebagai Malapetaka Duapuluh Tujuh Juli (Matatuli) yang terbukti direkayasa Rezim Otoriter Militeristik Orde Baru guna melindas gerakan prodemokrasi. "Rekayasa ini dilakukan untuk melanggengkan konspirasi para pemilik modal asing dan kaum profesional teknokrat untuk terus menjarah kekayaan sumber daya alam kita," ungkapnya.

Ketakutan penguasa Orde Baru saat itu, lanjut Budi, dilakukan dengan menstigma kasus itu sebagai Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli (Kudatuli) dengan memfitnah dan membunuh karakter kelompok prodemokrasi sebagai perusuh dan teroris. Kejadian tersebut dilakukan untuk membungkam gerakan rakyat.

Perang Iklan SBY-Mega Tidak Cerdas, Hanya Buang-buang Duit

Deden Gunawan - detikNews


Jakarta - Perjuangkan Sembako Murah" begitu judul iklan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di sejumlah media massa. Dalam iklan itu, PDIP berkampanye soal program 100 hari jika Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi presiden di Pilpres 2009.

Dalam iklan tersebut, Megawati berjanji akan menjalankan enam kebijakan dalam pemerintahan. Antara lain meningkatkan pemberdayaan petani, perbaikan infrastruktur, dan program sembako murah.

Namun belum ada seminggu iklan Megawati dan PDIP, muncul iklan tandingan dari Jaringan Nusantara. Kelompok yang kabarnya berada di barisan pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memasang iklan yang menyerang iklan Megawati tersebut.

Dalam iklan yang berjudul "Mana Mungkin" dikatakan, program penurunan harga sembako yang digadang Megawati tidak bakal terjadi. Dan iklan penurunan harga sembako hanya janji-janji kosong. Iklan tersebut juga menyoroti tentang kiprah Megawati yang dianggap telah gagal saat menjabat sebagai presiden, misalnya
dengan menjual aset negara ke pihak asing.

Perang iklan tersebut dikatakan pengamat politik Andrinof Chaniago sebagai cara yang tidak cerdas dan hanya buang-buang uang. "Seharusnya kubu SBY tidak langsung menyerang iklan Megawati, tapi mempromosikan hasil-hasil yang telah dicapai pemerintahan SBY," protesnya.

Soalnya, lanjut Andirnof, iklan sembako murah yang dijual Megawati dan PDIP hanya sekadar janji. Dan masyarakat saat ini sudah semakin cerdas melihat janji-janji para politisi, apalagi menjelang kampanye.

"Memang sebagai kandidat capres wajar bila melakukan pertarungan di sejumlah lini menjelang putaran pilpres. Tapi hendaknya dilakukan secara elegan," pinta Andrinof.

Adapun pengamat politik Kastorius Sinaga berpendapat untuk mengatasi persoalan bangsa, para pimpinan parpol tidak hanya melihat pada kepentingan politik sesaat. Tapi menitikberatkan kepada pemecahan masalah yang terjadi di masyarakat, terutama akibat efek krisis global.

"Kalau hanya jor-joran dengan janji-janji dan berkampanye melalui iklan. Apalagi saling serang melalui iklan tidak akan berpengaruh kepada masyarakat," ujarnya.

Kastorius menyarankan, dari pada buang-buang duit lewat iklan, para elit politik sebaiknya duduk bersama bersama, untuk mencari konsep yang terbaik dalam menghadapi krisis ekonomi sekarang ini. Bukan malah asik berperang melalui pernyataan maupun iklan.

Sementara Direktur Eksekutif Center for Local Goverment Reformn (Celgor) Budy Mulyawan melihat jawaban iklan yang dilakukan Jaringan Nusantara bisa memanas-manasi situasi. Sebab iklan materi iklannya sangat subyektif, yakni membela SBY, bukan realita yang terjadi.

"Kalau saya amati, iklan JN merupakan ketersinggungan politik. Mereka terkesan sangat emosional dan tidak argumentatif. Bahkan ada kesan mereka seperti kebakaran jenggot," jelas Budy.

Selain itu, Budy juga menyayangkan media yang menyangkan iklan "Mana Mungkin", dengan alasan tidak etis. Sebab seharusnya media memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pengiklan untuk menyampaikan pesannya. Baru setelah itu mereka bisa memasang iklan tandingan.

"Kalau iklan tersebut dipasang berdampingan sama saja dengan membuat konflik. Ini tidak etis. Harusnya iklan JN dipasang sehari setelah iklan Megawati tayang. Jadi tidak bersamaan," imbuhnya.

Tapi Wakil Ketua Umum Jaringan Nusantara Heri Sebayang saat dihubungi detikcom menyanggah jika iklan yang dirilis organisasinya bukan untuk menjawab iklan politik Ketua Umum PDIP Megawati. Iklan itu, kata Sebayang, untuk mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap janji-janji politik menjelang pemilu.

"Dengan iklan tersebut kami berharap para politisi jangan menjual kesengsaraan rakyat untuk kepentingan politik dengan cara mengumbar janji,seperti, menurunkan harga sembako, memberantas kemiskinan, dan tetek bengek," elaknya.

Pastinya perang iklan antara kubu Megawati dan SBY menandakan pertarungan di pilpres 2009 akan semakin sengit. Apalagi menurut analisa sejumlah pengamat politik, pada pilpres mendatang hanya ada dua kekuatan riil yang akan bertarung, yakni Megawati dan SBY. Adapun capres yang lain hanya dianggap sebagai penggembira.