SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG, MUSIK RAKYAT ASLI INDONESIA

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG, MUSIK RAKYAT ASLI INDONESIA

Masa pendudukan Portugis ke pulau Jawa bermula pada abad ke 12, di Pelabuhan Marunda – Sunda Kelapa. Mereka juga membawa cikal-bakal musik ...

Selasa, 23 September 2008

Inilah Modus Dana Suap BI ke DPR

M. Rizal Maslan - detikNews
Jakarta - Praktik suap yang dilakukan Bank Indonesia (BI) kepada DPR bermotif untuk memudahkan otoritas kebijakan yang diberlakukan oleh BI. Ada sembilan modus suap yang telah merugikan negara sekitar Rp 2.597.841.520 dan US$ 145.895.

Temuan fakta dan data itu disampaikan empat lembaga swadaya masyarakat yang konsern soal korupsi dalam jumpa persnya di Wisma Kodel, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (26/3/2008). Keempat LSM itu adalah, Bgrigade Pemburu Koruptor (BPK), Central for Local Goverment Reform (Celgor), Koalisi Anti Utang (KAU) dan Soegeng Sarjadi Sindicate (SSS).

"Suap ini melibatkan pimpinan dan anggota Komisi XI DPR dan para pejabat BI. Ini harus diusut dan ditindak, karena ini melanggar hukum dan sangat bertentangan dengan rasa keadilan," kata Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Kusfiandi.

Modus pertama dengan dalih Bantuan Partisipasi dari BI ke DPR senilai US$ 14.000. Dalam kasus ini ada tiga kali pemberian dana kepeda anggota Komisi XI, dua kali senilai masing US$ 2.000 dan satu kali senilai US$ 10.000.

Kedua, modus melalu dana Bantuan Perjalanan anggota DPR US$ 31.000 dan Rp 474 juta. Kunjungan 22 anggota Komisi XI ke Kampung Rp 110 juta, kunjungan 25 anggota DPR senilai Rp 125 juta, kunjungan 3 anggota DPR ke NAD Rp 15 juta, kunjungan ke Semarang Rp 15 juta, bantuan perjalanan haji satu orang anggota DPR US$ 1.000, kunjungan 2 anggota DPR ke Singapura US$ 2.000, kunjungan anggota DPR (4 orang ke Tokyo, 2 orang ke Amsterdam dan 1 ke AS) senilai US$ 10.500, bantuan perjalanan dinas ke Australia, Cina sebanyak US$ 17.500 dan kunjungan dua anggota Panitia Anggaran DPR dan pejabat BI ke Tokyo Rp 209 juta.

Ketiga, modus Bantuan Hubungan Baik senilai US$ 42.395 dan Rp 78,8 juta dengan memo yang berbeda-beda . Dana ini diberikan di antaranya untuk bantuan uang bawaan tiga anggota Komisi XI DPR ke London dan Paris, serta audit Commitees in A New Era Governance di Boston AS.

Keempat, modus Bantuan Pengobatan dan Perawatan Kesehatan US$ 16.000. Kelima, modus Bantuan Kegiatan Rp 729 juta, diantaranya untuk acara silaturahmi dan buka puasa anggota Komisi XI sebanyak Rp 654 juta, silaturahmi Partai Demokrat Rp 50 juta dan bantuan korban gempa Rp 25 juta.

Keenam, modus melalui dana Bantuan Apresiasi dan Representasi Rp 520 juta, yaitu bantuan untuk 25 anggota Komisi XI dalam rangka diseminasi anggaran operasional BI Tahun 2007. Ketujuh, modus dana Bantuan Pembahasan RUU US$ 32.500 dan Rp 120 juta, yaitu pembahsasan RUU Mata Uang US$ 20.000, perjalanan studi banding ke Jepang terkait pembahasan RUU Ketentuan Umum Pajak US$ 8.000, bantuan kepada Ketua Komisi XI menghadiri Islamic Forum terkait RUU Perbankan Syariah di Jordan US$ 2.500, perjalanan dinas terkait RUU Infomasi dan Transaksi Elektronik (ITE) US$ 2.000 dan bantuan perjalanan
ke sejumlah negera di Asia terkait RUU Perbankan Syariah Rp 120 juta.

Kedelapan, modus dana Bantuan untuk Badan Kelengkapan DPR dan Badan Kelengkapan Komisi XI DPR US$ 10.000 dan Rp 100 juta. Dana ini untuk pembayaran uang delegasi PDLN pimpinan Baleg DPR ke London dan New York sebanyak 4 orang senilai US$ 10.000, bantuan untuk Panja A Komisi XI sebanyak 20 orang senilai Rp 100 juta dan tambahan dana representasi untuk anggota Tim C Komisi XI senilai Rp 520 juta.

Terakhir modus kesembilan adalah pengeluaran dana BI untuk pertemuan stake holder eksternal Rp 55 juta. Dana ini dikucurkan bertahap masing-masing Rp 25 juta dan Rp 30 juta untuk pertemuan stake holder eksternal guna meningkatkan komunikasi dan diseminasi peran BI.

"Semua pengeluaran dana itu ada memonya. Selain merugikan keuangan negara, tapi juga menganggu proses berjalannya peraturan yang berlaku," tandas Kusfiandi.

Koalisi keempat LSM ini juga meminta agar KPK mengusut tuntas dan menindak tegas kasus suap yang dilakukan BI. "Tindakan tegas harus diberikan oleh KPK kepada pelaku dan penerima suap sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku," imbuhnya.(zal/ndr)

Komisi XI: Dugaan Aliran Dana BI Harus Dibuktikan

Ramdhan Muhaimin - detikNews
Jakarta - Empat LSM melaporkan dugaan praktik suap yang dilakukan BI kepada anggota Komisi XI selama 2006-2007 ke KPK. Dugaan dana yang mengalir diperkirakan mencapai lebih Rp 2.597.841.520 dan US$ 145.895.

Ketua Komisi XI Awal Kusumah enggan mengomentari isu yang menerpa diri dan komisinya tersebut.

"Maaf, tidak ada komentar. Ada urusan yang lebih penting," ujar Awal kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (26/3/2008).

Menurut Awal, data-data yang disampaikan keempat LSM itu harus dibuktikan kebenarannya secara transparan.

Anggota Komisi XI Rama Pratama juga membantah dugaan suap tersebut. Bahkan Rama mengaku tidak tahu persis kemungkinan aliran dana BI itu mengalir dalam sembilan modus ke DPR sebagaimana yang dilaporkan ke KPK.

"Saya tidak pernah tahu dan menerima apalagi dalam modus-modus yang disebutkan itu," ujar Rama.

Meski demikian, Rama mengakui pernah menyalurkan dana bantuan dari BI untuk bencana gempa di Jogjakarta pada tahun lalu sebesar Rp 25 juta. Bahkan dana itu disatukan dengan dana lain yang dihimpunnya dari masyarakat sehingga total menjadi Rp 50 juta.

"Karena kebetulan saya mau ke Jogja, jadi saya yang dititipkan. Sebagai bukti, saya punya kuitansi dana-dana itu. Juga yang BI. Tapi saya hanya menyalurkan. Bukan terima untuk pribadi," tuturnya.

Keempat LSM itu yaitu Koalisi Anti Utang (KAU), Brigade Pemburu Koruptor (BPK), Central for Local Goverment Reform (Celgor), dan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS).

Dana itu dicurigai mengalir melalui sembilan modus, yaitu bantuan antisipasi, bantuan perjalanan, bantuan hubungan baik, bantuan pengobatan & kesehatan, bantuan kegiatan, bantuan apresasi & representasi, bantuan pembahasan RUU, bantuan untuk badan kelengkapan DPR & komisi XI, dan bantuan untuk pertemuan stakeholder eksternal.

Pada modus bantuan kegiatan, disebutkan ditujukan untuk silaturahmi Partai Demokrat sebesar Rp 50 juta dan bantuan korban gempa sebesar Rp 25 juta.
(rmd/ndr)

Senin, 22 September 2008

Agung Pertanyakan Data LSM tentang Aliran Dana BI

Ramdhan Muhaimin - detikNews
Jakarta - 4 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan dugaan aliran dana haram BI ke DPR selama 2006-2007 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski keempat LSM itu telah menyodorkan data lengkap, Ketua DPR Agung Laksono justru mempertanyakan validitas data tersebut.

"Harus dilihat, data itu benar atau tidak. Sebab kalau memberi laporan, harus jelas," ujar Agung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (27/3/2008).

Agung berharap, laporan yang diberikan keempat LSM itu betul-betul berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

"Kalau laporan itu tidak berdasar, asal bicara, ya harus tanggung resiko. Sebab bisa menjadi character assasination terhadap DPR dan bisa dituntut," tegas Agung.

Keempat LSM yang melaporkan yaitu Koalisi Anti Utang (KAU), Brigade Pemburu Koruptor (BPK), Central for Local Goverment Reform (Celgor), dan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS). Dugaan dana yang mengalir diperkirakan mencapai lebih Rp 2.597.841.520 dan US$ 145.895.(rmd/nwk)

LSM Serahkan Data Baru Suap BI ke KPK

Jakarta - Sejumlah data baru kasus suap Bank Indonesia (BI) ke DPR dan inefisiensi anggaran BI akan diserahkan LSM ke KPK. KPK diberi waktu 7x24 jam untuk mengumumkan ke publik.

Data itu akan diserahkan 4 LSM yakni Brigade Pemburu Koruptor (BPK), Central for Local Goverment Reform (Celgor), Komite Anti Utang (KAU) dan Soegeng Soerjadi Sindicate (SSS) ke kantor KPK di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (26/3/2008) sore.

Koordinator Brigade Pemburu Koruptor (BPK) Munarman mengatakan, ada 9 modus operandi baik dalam bentuk uang rupiah maupun dollar terkait kasus suap BI ke DPR.

Dijelaskan Munarman, suap BI ke DPR ini seperti biaya perjalanan dinas anggota DPR yang dibiayai oleh BI. Biaya bantuan ini merupakan modus operandi aliran dana BI ke DPR. Modus seperti ini merupakan kebocoran uang negara senilai Rp 2,6 miliar dan US$ 145.895.

Kategori kedua, inefisiensi anggaran yang jumlahnya tidak wajar, yaitu pengunaan dana untuk membiayai keluarga pejabat yang ikut perjalanan dinas pejabat BI.

"Kami mencatat ada Rp 13 miliar lebih dan US$ 3,35 juta. Dana ini merupakan dana anggaran BI Tahun 2006-2007. Bayangkan mungkin itu nilainya Rp 30 miliaran," ujar Munarman dalam jumpa pers di Wisma Kodel, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Munarman membeberkan sembilan aktivitas yang tercatat dari data yang diterimanya sebagai bentuk suap BI ke DPR yaitu, bantuan artisipasi US$ 14.000, bantuan perjalanan US$ 31.000 dan Rp 474 juta, bantuan hubungan baik US$ 33.500, bantuan pengobatan dan
perawatan kesehatan US$ 16.000, bantuan kegiatan Rp 729 juta, bantuan apresiasi dan representasi Rp 520 juta, dana pembahasan RUU US$ 32.500 dan Rp 120 juta, dana bantuan untuk Badan Kelengkapan DPR dan Komisi XI DPR US$ 10.000 dan Rp 100 juta dan pertemuan stake older eksternal Rp 55 juta.

Koordinator Celgor Usmar Ismail meminta agar KPK segera mengumumkan nama-nama yang tercantum dalam data tersebut dalam tempo 7x24 jam.

4 LSM ini juga mengaku sudah memiliki nama anggota Komisi IX DPR yang menerima dana BI tersebut. "Tapi saya tidak mau ungkap nama- nama itu, biar saja KPK yang mengumumkannya," ujarnya.(zal/aan)

Jumat, 19 September 2008

Koalisi PDIP dan PKS Duet Maut Kaum Abangan dan Religius

Jakarta - Wacana koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) semakin menguat. Dua partai berbeda aliran ini belakangan mulai mematangkan koalisi dengan melakukan sejumlah pembicaran-pembicaraan.
Penjajakan terhadap koalisi kedua partai kabarnya juga semakin intensif."Saya beberapa kali datang ke PKS, kita membicarakan banyak hal. Terutama tentang bagaimana Indonesia ke depan dalam menghadapi tantangan-tantangan," jelas Ketua Dewan Pembina PDIP Taufiq Kiemas.
Kedua partai menyadari mereka punya keunggulan masing-masing. Bila kekuatan yang mereka miliki digabung hasilnya diprediksi bakal dahsyat. Setidaknya dari survei internal yang dilakukan PKS, beberapa waktu lalu. Saat itu, dalam sebuah diskusi tentang Kepemimpinan Kaum Muda yang digelar PKS, Juni 2008, Presiden PKS Tifatul Sembiring mengatakan, dari studi internal partainya koalisi PDIP dan PKS sangat ideal untuk membangun pemerintahan.
Sejumlah pengamat juga sependapat dengan hasil tersebut. Mereka memperkirakan, bila PDIP dan PKS benar-benar berkoalisi, bisa mengungguli koalisi dari partai-partai lain. Sebab dua partai tersebut mempunyai keunggulan. Misalnya, PDIP punya capres populer, yaitu Megawati Soekarnoputri yang dari hasil sejumlah survei namanya selalu berada di posisi 1 atau 2. Sementara PKS diakui punya mesin politik yang tangguh dan kuat."Di atas kertas PDIP dan PKS sangat unggul. PDIP punya capres yang populer sedangkan PKS punya mesin politik yang kuat. Selain itu PDIP dan PKS punya massa fanatik ," jelas pengamat politik Mohammad Qodari.
Dengan modal yang dimiliki kedua partai itu praktis akan dengan mudah mengungguli para pesaing mereka di Pilpres 2009.
Tapi Ada beberapa persoalan yang belum ada titik temu antara PDIP dan PKS dalam masalah Pilpres. Misalnya soal waktu penetapan pasangan capres dan cawapres. Sebab PDIP menginginkan kesepakatan koalisi diputuskan sebelum pemilu legislatif sementara PKS menginginkan setelah pemilu legislatif.
PKS menganggap koalisi sejak dini bisa menyebabkan data yang tidak valid dan mengganggu hasil Pemilu. Sebab PKS tidak ingin ketika mereka unggul di pemilu legislatif mereka justru menempatkan orangnya di posisi nomor dua.
Sementara PDIP merasa sudah bulat kalau partainya akan mengusung ketua umumnya, Megawati sebagai capres. Dan itu sudah harga mati. "Saya kira yang belum ketemu antara PDIP dan PKS hanya timing penetapan capres dan cawapres," kata Qodari.
Adapun soal latar belakang partai yang berbeda kabarnya sudah menemukan titik temu. PDIP yang selama ini dikenal partai nasionalis dan abangan perlahan-lahan sudah mendekat ke arah religi. Hal itu tercermin dengan dibentuknya Baitul Muslimin, setahun lalu. Sementara di kubu PKS, saat ini pola pandangnya soal ke-Islaman sudah mulai lebih moderat. "Perbedaan dua partai ini ketemunya di Pancasila," ujar Qodari.Lantas bagaimana dengan kader-kader di tingkat akar rumput?"Koalisi antara PDIP dengan PKS jauh lebih realistis dibanding koalisi PDIP dengan Golkar," jelas Budi Mulyawan, anggota BP Pemilu DPP PDIP.
Menurutnya, koalisi partai berlambang banteng moncong putih itu lebih didukung kader di tingkat akar rumput. Budi kemudian memberi contoh duet PDIP dan PKS di sejumlah pilkada, seperti Yogyakarta, Ciamis dan Sumatera Selatan, yang dinilai sangat diapresiasi kader-kader partai."Kalau di tingkat menengah dan akar rumput tidak masalah. Lain halnya di tingkat elit. Sebab banyak elit PDIP yang berasal dari non muslim. Sehingga perlu ada pembicaraan lebih jauh supaya ada titik temunya," ujar Mulyawan.
Ditambahkan Mulyawan, koalisi antara PDIP dan PKS tidak akan mengurangi atau menggembosi kekuatan masing-masing partai. Sebab basis dukungan partai berbeda. PDIP tetap nasionalis dan PKS tetap religi. Untuk itu koalisi dua partai tersebut diberinama koalisi merah-putih.(ddg/iy)

Rabu, 17 September 2008

LSM Temukan Bukti Suap dan Inefisiensi BI

JAKARTA, RABU - Dokumen bukti suap dan inefisiensi anggaran Bank Indonesia 2006-2007 segera diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihak yang akan menyerahkan dokumen itu adalah Central For Local Government Reform (Celgor), Koalisi Anti Utang, Sugeng Sariadi Syndicate, dan Barisan Pemburu Koruptor.

"Setelah ini, kami beri waktu kepada KPK selama 7x24 jam untuk mengumumkan nama-nama aktor suap dan inefisiensi anggaran Bank Indonesia 2006-2007 kepada publik. Kalau tidak, kami akan melakukannya dengan cara kami sendiri," ujar Direktur Celgor, Usmar Ismail saat mengumumkan dokumen ini kepada pers di Wisma Kodek Jalan Rasuna Said Jakarta, Rabu (26/3).

Berdasarkan dokumen itu ditemukan kebocoran uang negara senilai Rp2,59 miliar dan 145.895 dolar Amerika Serikat dalam bentuk suap oleh BI kepada anggota DPR. Juga diperoleh juga ditemukan inefisiensi anggaran BI senilai Rp13,32 miliar dan 3,35 juta dolar AS.

Ditemukan pula sembilan bentuk suap (gratifikasi) yang dilakukan BI untuk anggota dewan. Kesembilan bentuk itu adalah bantuan partisipasi, bantuan perjalanan, bantuan hubungan baik, bantuan pengobatan dan perawatan kesehatan, bantuan kegiatan, bantuan apresiasi dan representasi, bantuan terkait pembahasan RUU, bantuan untuk badan kelengkapan DPR dan Badan Kelengkapan Komisi XI DPR, serta bantuan untuk pertemuan stakeholder eksternal.

"Yang dibantu itu sifatnya pribadi dan dimasukkan dalam buku BI. Ini artinya kan menggunakan uang negara. Coba bayangkan hanya untuk pengobatan keluarga dan istri anggota dewan. Kami juga menemukan fakta, tanpa anggota dewan mintapun dibantu," ungkap Ketua Barikade Pemburu Koruptor, Munarman.

Berdasarkan hasil temuan mereka, inefisiensi dalam anggaran BI disebabkan oleh adanya biaya perjalanan untuk keluarga, suami atau istri pejabat BI, seperti biaya untuk suami Miranda S Goeltom. (BOB)

Temuan Baru Aliran Dana BI ke DPR

Sejumlah LSM mengungkapkan temuan baru terkait aliran dana BI ke DPR. Jumlahnya sebesar Rp30 miliar. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk aktivitas anggota dewan, mulai dari bantuan perjalanan hingga biaya pengobatan.

Skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR nampaknya bakal berbuntut panjang. Belum juga selesai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan atas kasus yang melibatkan sejumlah pimpinan BI itu, beberapa lembaga swadaya masyakat (LSM) menyodorkan temuan baru.

Temuan itu merupakan dokumen dan memorandum dari BI untuk bantuan dana sejumlah kegiatan DPR, khususnya anggota Komisi XI yang menangani bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan dan lembaga keuangan bukan bank.

Bantuan kegiatan yang terjadi sepanjang periode 2006-2007 itu, antara lain: bantuan partisipasi, perjalanan, hubungan baik, pengobatan dan perawatan bagi anggota DPR. Lalu ada juga bantuan untuk kegiatan, apresiasi dan representasi, bantuan terkait permbahasan rancangan undang-undang (RUU), bantuan untuk Badan Kelengkapan DPR dan Badan Kelengkapan Komisi XI, serta pertemuan stake holder eksternal.

Berdasarkan hasil investigasi lima LSM –Koalisi Anti Utang (KAU), Barisan Pemburu Koruptor, Central for Local Government Reform (Celgor), Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) dan Sugeng Saryadi Syndicate (SSS)– dana yang diberikan kepada para wakil rakyat itu sejumlah AS$ 145.895 dan Rp2,07 miliar. Sehingga jika ditotal jumlahnya mencapai Rp3,4 miliar, berdasarkan asumsi kurs rupiah terhadap satu dollar AS, Rp9.194. Hasil investigasi itu sendiri telah diserahkan ke KPK pada Rabu (26/3).

Bantuan kegiatan BI ke DPR

priode 2006-2007

No

Keterangan

Dolar Amerika (AS$)

Rupiah (Rp)

1

Bantuan partisipasi

14.000

0

2

Bantuan perjalanan

31.000

474.000.000

3

Bantuan hubungan baik

42.395

79.841.520

4

Bantuan pengobatan dan perawatan kesehatan

16.000

0

5

Bantuan kegiatan

0

729.000.000

6

Bantuan apresiasi dan representasi

0

520.000.000

7

Bantuan terkait pembahasan RUU

32.500

120.000.000

8

Bantuan untuk Badan Kelengkapan DPR dan Badan Kelengkapan Komisi XI DPR

10.000

100.000.000

9

Pertemuan stake holder eksternal

0

55.000.000

Jumlah

145.895

2.077.841.520

Sumber : Koalisi Anti Utang

Jumlahnya memang tidak sebesar hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kala itu BPK mengungkapkan ada aliran dana BI ke DPR sebesar Rp31,5 miliar, dari total penggunaan uang milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh BI sebesar Rp100 miliar. “Namun, tetap saja itu bentuk suap,” ujar Munarman, Ketua Barisan Pemburu Koruptor, di Jakarta, Rabu (26/3).

Ia lantas membeberkan beberapa memorandum BI ke DPR. Misalnya memo untuk bantuan partisipasi BI kepada anggota Komisi XI DPR sebesar AS$ 14 ribu. Dana itu diberikan dalam tiga kali pencairan. Rinciannya: memo: 9/61/DPU/BPUK (AS$2.000), memo: 956/DPU/BPUK (AS$2.000) dan memo: 9/45/DPU/BPUK (AS$10.000).

Sayangnya, meski mengaku mengantongi nama-nama anggota DPR penerima dana haram tersebut, Munarman belum mau mengungkapkan siapa saja yang menerima dana itu. “Yang jelas, hampir semua anggota Komisi XI mendapatkanya (dana BI, red),” ungkapnya.

BI, katanya, juga memberikan bantuan untuk perjalanan anggota Komisi XI baik dalam maupun luar negeri. Jumlahnya AS$31 ribu dan Rp474 juta. Perjalanan dalam negeri diantaranya: kunjungan kerja ke Lampung dan Semarang. Lalu kunjungan untuk menghadiri peringatan setahun tsunami di Nangro Aceh Darussalam.

Sementara itu untuk perjalanan ke luar negeri, mencakup: perjalanan untuk ibadah haji (satu orang), mengikuti International Islamic Finance Forum di Singapura, perjalanan ke Tokyo, Amsterdam dan Amerika. Kemudian bantuan perjalanan ke Australia dan Cina untuk menghadiri forum grup kerja sama bilateral (GKSB).

Bantuan juga diberikan BI untuk biaya berobat dan perawatan kesehatan kepada salah seorang anggota Komisi XI yang menghabiskan dana sebesar AS$1.000. Parahnya bantuan pengobatan itu bukan hanya dinikmati oleh anggota dewan saja, tapi juga istri dari salah seorang anggota Komisi XI. Buat berobat istri anggota dewan tersebut ke Jerman, BI telah menggelontorkan uang A$10 ribu.

Munarman melanjutkan, BI juga memberikan suap terkait pembahasan RUU. Bentuknya berupa uang perjalanan dan menghadiri forum seminar dan konpersensi internasional. Bantuan BI itu terkait pembahasan RUU mata uang, RUU ketentuan umum perpajakan, RUU perbankan syariah, dan RUU informasi dan transaksi elektronik.

Untuk pembahasan RUU Ketentuan Umum Perpajakan, BI memberikan dua kali bantuan perjalanan kepada empat anggota Komisi XI ke Jepang. Kemudian, untuk pembahasan RUU Perbankan Syariah, bantuan perjalanan diberikan kepada enam anggota Komisi XI ke beberapa negara di Asia. Sedangkan untuk RUU Mata Uang, BI memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai.

Modus lain yang digunakan BI, lanjutnya, adalah mengadakan pertemuan stake holder eksternal. Pertemuan ini diadakan guna melakukan persuasi agar citra kinerja BI tetap baik di ruang publik. Untuk melaksanakan pertemuan ini, BI telah menghabiskan dana sebesar Rp55 juta.

Sayang, hingga berita ini diturunkan, hukumonline belum mendapat konfirmasi dari BI. Salah satu pegawai BI yang menandatangani memo (hukumonline sempat melihat dokumen milik LSM tersebut), Filianingsih Hendarta, tidak mengangkat telepon selularnya ketika beberapa kali dihubungi hukumonline. Fili –panggilan akrab Filianingsih– saat ini menjabat sebagai Kepala Biro Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI.

Yang jelas, beragam modus suap yang dilakukan BI ini, bisa jadi menambah daftar tercela otoritas moneter itu di KPK. Karena itu, Munarman, meminta KPK segera mengusut tuntas dan menindak pihak-pihak yang terlibat dalam suap menyuap tersebut. “Tindakan tegas harus diberikan KPK kepada pelaku dan penerima suap,” tegasnya.

Inefisiensi Anggaran di BI

Selain dugaan suap, kelima LSM tadi juga mengungkapkan adanya inefisiensi anggaran di tubuh bank sentral itu. Inefisiensi itu berupa pemborosan biaya perjalanan dinas untuk anggota keluarga pejabat BI.

Dari data yang diperoleh Celgor terungkap, sepanjang tahun 2006-2007, nilai nominal dari inefisiensi anggaran di BI adalah sebesar Rp13,3 miliar dan AS$3,3 juta. Jika ditotal nilainya mencai lebih dari Rp44 miliar. “Volumennya tidak wajar,” celetuk Usmar Ismail, Koordinator Celgor.

Beberapa dokumen kembali disodorkan. Misalnya, biaya perjalanan Marniza Aslim, istri mantan Deputi Gubernur BI Aslim Tajuddin. Tahun 2006, biaya perjalanan Marniza mencapai Rp1,4 miliar plus AS$12 ribu. Sedangkan untuk tahun 2007, totalnya Rp742 juta ditambah AS$82 ribu. Sebagian besar biaya perjalanan untuk ke luar negeri.

Begitu juga dengan biaya perjalanan Oloan P. Siahaan. Suami dari Deputi Gubernur Senior Miranda Swaray Goeltom itu mendapat jatah sekitar Rp4,8 milar untuk tahun 2006-2007. Dana itu terdiri dari AS$ 121 ribu dan Rp3,6 milar.

Selain keduanya masih ada beberapa keluarga pejabat BI lain yang mendapatkan jatah, seperti Ny. Maman H. Soemantri yang merupakan istri mantan Deputi Gubernur BI Maman H. Soemantri, Ny. Ike Burhanuddin (istri dari Gubernur BI Burhanuddin Abdullah), Ny. Sri Dadari Maria Sarwono (istri dari Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono) dan Ny. Rita Maulana (istri mantan Deputi Gubernur BI Maulana Ibrahim).

“Kami mengungkapkan data ini tidak ada motif politik atau mau mencemarkan nama baik seseorang. Tapi, semata-mata untuk menghentikan praktik suap dan korupsi di semua institusi,” tandas Kusfiardi, dari PSKP yang juga menjabat Koodinator Nasional Koalisi Anti Utang (KAU).

(Sut)

Selasa, 16 September 2008

Ketua BPK Sesalkan Aliran Dana BI Ke DPR

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution menyesalkan aliran dana dari Bank Indonesia ke DPR jilid kedua. “Inilah yang paling menyedihkan buat kita,” katanya usai diskusi mengenai Good Governance di Radio Republik Indonesia, Jakarta. Kasus tersebut akan mengurangi tingkat kepercayaan terhadap bank sentral. “Kalau seperti ini mana percaya kita sama rupiah,” katanya.
Hal-hal seperti ini, menurut dia, membutuhkan perbaikan sistem good governance di Bank Indonesia. Bila Menteri Perekonomian Boediono terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia, maka ini adalah pekerjaan rumah bagi dia.
BPK saat ini juga telah melakukan audit terhadap laporan keuangan bank sentral. Namun dia memastikan aliran dana Bank Indonesia ke DPR jilid kedua, jumlahnya lebih kecil daripada aliran dana BI yang pertama. Sebelumnya, Brigade Pemburu Koruptor, Koalisi Anti Utang dan Celgor melansir hasil investigasi perihal aliran dana BI jilid kedua. Total dana yang disetor dari bank sentral ke Anggota DPR sekitar Rp 3,8 miliar.

Sekretaris F-PDIP DPR Mengaku Terima Dana dari BI

JAKARTA, TRIBUN Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPR Ganjar Pranowo mengaku telah menerima aliran dana dari Bank Indonesia (BI). Namun, Ganjar yang juga mengaku tidak tahu menahu uang itu sebelumnya, berencana mengembalikan bila uang yang diterimanya itu dianggap melanggar aturan BI.

Kepada Persda Network, Jumat 11/4) malam, Ganjar menuturkan berita terkait aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR terkesan dibelok-belokan.

"Tampaknya, beritanya (aliran dana BI) sudah belok ke mana-mana. Bahkan, saya ditelepon konstituen, katanya saya menerima aliran dana BLBI. Yang perlu saya sampaikan adalah, adanya pemberitaan di media, saya menerima suap dari BI untuk RUU Mata Uang," aku Ganjar Pranowo.

Dari hasil temuan sejumlah LSM antara lain, Koalisi Anti Utang (KAU), Brigade Pemburu Koruptor (BPK) serta Central for Local Goverment/Celgor yang kemudian dilaporkan ke KPK, Bank Indonesia mengalirkan uang sebesar Rp 100 miliar ke beberapa anggota dewan. Termasuk, aliran dana BI sebesar Rp 2,5 miliar dan 140 ribu dolar AS untuk perjalanan anggota dewan ke London dan New York, Amerika Serikat. Ganjar Pranowo adalah salah satu anggota dewan yang berangkat ke London.

Ganjar kemudian menjelaskan pertama kali dirinya menerima uang dari BI, sama sekali tidak diketahui sebelumnya. Saat itu, Ganjar mengaku diundang pihak Bank Indonesia. Selain dirinya, ada beberapa anggota DPR lain yang juga diundang, antara lain Bomer Pasaribu (Golkar) Ali Maskur Musa (PKB) serta Andi Rahmat (PKS) ke Inggris, London.

"Di situlah katanya saya menerima aliran dana. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti. Karena saya diundang sebagai tamu. Tentu, saya tidak bertanya soal sumber dananya," ujarnya.

"Perlu saya jelaskan pula, saya tidak pernah terima gratifikasi seperti yang dituduhkan itu. Namun, bila itu secara aturan internal BI dianggap salah, maka saya akan minta daftar biaya yang dikeluarkan untuk itu dan saya siap kembalikan," tegasnya lagi.

Hingga kini, terkait aliran dana BI, selain Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, KPK juga sudah menahan Oey Hoey Tiong, dan Rusli Simanjuntak.

Aliran dana BI ke DPR, tak lain untuk pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diduga terkait upaya BI untuk mempengaruhi proses perundang- undangan, agar pembahasan segera dilakukan.

Selain RUU Likuidasi Bank dan pembahasan anggaran BI, aliran dana juga terkait upaya mempercepat pembahasan RUU Lembaga Penjamin Simpanan dan RUU Kepailitan.

Salah seorang Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) mengemukakan, seharusnya para anggota dewan yang menerima dapat dipermasalahkan secara hukum. Namun, dirinya pesimistis kalau kasus ini akan bisa diselesaikan secara tuntas. (jan)

Aliran dana BI ke DPR
* Ke Komisi IX periode 1999-2004 sebesar Rp 31 miliar
* Untuk proses hukum pejabat BI Rp 68,5 miliar, Rp 13.5 miliar dialirkan sebagai diseminasi ke Kejaksaan Agung.
* Tahun 2006, dialirkan ke DPR (Komisi IX) sebesar Rp 2.597.841.520 dan 145.895 dolar Amerika.

Nasi Kardus Rp 10 Juta

Andai saja amplop berisi uang yang dia terima adalah sumbangan amal jariyah yang tak berharap balasan, masalahnya mungkin akan berbeda. Tapi amplop yang dia terima pada waktu itu mustahil disisipkan di kardus bingkisan nasi, kalau dia bukanlah seseorang yang dianggap memiliki pengaruh dalam hubungannya dengan pejabat atau lembaga yang menyelenggarakan pemberi amplop.

Oleh Rusdi Mathari

PADA SEBUAH BULAN PUASA, SEKELOMPOK ORANG YANG IKUT menentukan merah biru perpolitikan dan perekonomian negara ini diundang oleh penyelenggara sebuah lembaga yang mandiri dan nyaris powerful dibanding lembaga lain— untuk berbuka berpuasa. Setelah makan dan minum ringan, acara berbuka itu dilanjutkan dengan salat magrib berjemaah dan sesudahnya makan besar. Ketika acara selesai, satu per satu para undangan yang terhormat itu lalu pamit kepada sahibulbait. Tak lupa tuan rumah menitipkan sekotak bingkisan yang berisi nasi, lauk-pauk, dan aneka kue. Sebuah acara berbuka puasa yang standar dan tak ada yang istimewa.

Tiba di rumah, salah seorang dari peserta buka bersama itu membuka kardus bingkisan yang dibawanya. Isinya ternyata bukan hanya nasi dan lauk-pauk melainkan juga berisi amplop. Ketika amplop dibuka di dalamnya terselip lembaran uang pecahan Rp100 ribu yang semuanya masih baru sebanyak 100 lembar. Ini baru bingkisan namanya, kata dia.

Minggu lalu, empat LSM yaitu Koalisi Anti Utang, Brigade Pemburu Koruptor, Central for Local Goverment Reform Celgor dan Soegeng Sarjadi Syndicate datang ke KPK untuk melaporkan dugaan praktik suap yang dilakukan oleh pejabat BI kepada anggota Komisi IX (Komisi Perbankan) periode 2004-2009. Praktik suap itu diduga terjadi pada 2006-2007 dengan jumlah dana mencapai Rp2,3 miliar tapi menurut Ketua Badan BPK, Anwar Nasution, dananya mencapai Rp2,5 miliar lebih dan US$ 145.895. “Sudah tahu saya hal itu, sekarang Tim BPK sedang menunggu hasil audit itu, tinggal difinalisasi,” kata Anwar (Lihat “Ketua BPK Ada Aliran Dana BI Jilid II ke DPR” koran Pelita, 3 April 2008).

Dalam laporan empat LSM itu disebutkan bahwa BI menggelontorkan dana Rp2,3 miliar kepada Komisi Perbankan DPR untuk berbagai kegiatan komisi, seperti kunjungan kerja dan bantuan apresiasi dalam rangka deseminasi anggaran operasional BI 2007, biaya silaturahmi dan acara buka puasa bersama anggota Komisi Perbankan. Di luar itu, Bank Indonesia juga diduga memberi uang saku pada empat anggota Badan Legislasi DPR saat berkunjung ke London dan New York pada 3-12 Maret 2007. Besarnya dana untuk uang saku itu sebesar US$ 13.960 atau Rp 130 juta. Setiap anggota DPR mendapatkan US$ 3.490 dan Rp1 juta.

Laporan dari 4 LSM itu, melengkapi skandal penyuapan pejabat BI terhadap anggota DPR yang berbuah dengan ditetapkannya tiga tersangka, yaitu Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, dan mantan Kepala Biro BI, Rusli Simandjuntak, yang kini menjabat Kepala Perwakilan BI di Surabaya. Oey dan Rusli kemudian ditahan oleh KPK, tapi tidak dengan Burhanuddin. Entah kenapa. Ketiga tersangka diduga melakukan korupsi terhadap dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp 31,5 miliar. Dana sebesar itu diduga mengalir ke Komisi Perbankan DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amendemen Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Amendemen terhadap undang-undang tersbut merupakan proses terpanjang dalam sejarah penyusunan RUU di parlemen. Perjalanannya diwarnai tarik ulur berbagai kepentingan yang merepresentasikan dinamika politik di negeri ini. Awalnya, amendemen atas Undang-Undang BI merupakan usulan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Tujuannya, mengubah Pasal 75 agar Dewan Gubernur BI bisa diberhentikan. Tapi Gus Dur dituduh hendak melengserkan Gubernur BI Syahril Sahbirin padahal menurut Gus Dur, dengan Undang-Undang BI itu, BI seperti negara dalam negara. Undang-Undang No. 23 tahun 1999 itu akhirnya memang diamendemen menjadi UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Oleh undang-undang itu kedudukan Bank Indonesia ditetapkan sebagai sebuah lembaga yang independen.

Secara politik, apa yang dimaksud sebagai independen adalah bank sentral yang memiliki keleluasaan dalam menerapkan kebijakan serta menentukan posisi dan komposisi gubernur atau dewan gubernur tanpa pengaruh dari pemerintah dan parlemen. Dari sisi ekonomi, independen berarti keleluasaan bank sentral untuk menggunakan instrumen-instrumen kebijakan moneter tanpa pembatasan, terutama lepasnya tanggung jawab bank sentral dalam pembiayaan defisit fiskal pemerintah.

Proses pemilihan gubernur BI yang hingga kini masih menjadi tarik ulur, dianggap oleh sebagian orang telah meminggirkan independensi politik yang seharusnya dimiliki oleh BI. Penetapan target inflasi oleh pemerintah dinilai telah mengurangi keleluasaan BI untuk menentukan target kerja. Disebutkan di dalam Undang- Undang BI bahwa lembaga itu memiliki target kerja tunggal, yaitu kestabilan harga-harga. Dengan kata lain, melalui mekanisme tertentu, BI akan berupaya mencapai target tersebut sehingga kinerjanya terlihat nyata. Namun dengan target inflasi yang ditentukan pemerintah (sejak 2004), BI lalu dinilai akan mengalami kesulitan dalam pencapaiannya (Lihat “Dipertanyakan, Independensi Bank Indonesia,” Bali Post, 24 Maret 2008).

Masalahnya menurut Rizal Ramli independensi BI terkadang tidak disertai dengan akuntabilas. Soal akuntabilitas itulah yang dulu dipersoalkan oleh pemerintahan Gus Dur. Rizal yang menjabat Menko Ekonomi, pada waktu itu menyatakan, BI sebagai Bank Sentral yang independen sangat diperlukan. Tapi independensi itu harus disertai akuntabilitas sebab tanpa akuntabilitas, Bank Sentral akan seperti “negara dalam negera.” “Kalau hanya independen tanpa accountability, bagaikan negara dalam negara. Orang bisa melakukan tindak pidana atau kesalahan, tetapi tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya,” kata Rizal (Lihat “5 Kriteria Calon Gubernur BI,” Bernas).

Seorang mantan pejabat pemerintah yang kemudian duduk di Dewan Supervisi BI, minggu lalu bercerita, dengan alasan independensi banyak kebobrokan di BI yang tidak terungkap. Bank sentral itu, kata dia immune sekian tahun karena undang- undangnya dibuat mandul. Namun orang tadi lalu membocorkan beberapa hal yang menyangkut ketidakberesan di BI kepada KPK. “Dari sana kemudian terkuak dan menjadi bola salju,” kata dia.

Peserta berbuka puasa yang mendapat bingkisan nasi kardus dengan amplop berisi Rp10 juta dari sebuah lembaga itu, kini mulai khawatir karena soal bingkisan itu sudah terungkap oleh media dan dilaporkan ke KPK. Andai saja amplop berisi uang yang dia terima adalah sumbangan amal jariyah yang tak berharap balasan, masalahnya mungkin akan berbeda. Tapi amplop yang dia terima pada waktu itu mustahil disisipkan di kardus bingkisan nasi, kalau dia bukanlah seorang yang dianggap memiliki peran dalam hubungannya dengan pejabat atau lembaga yang menyelenggarakan acara buka bersama itu.